Wednesday, April 8, 2015

Wawancara Panangian Simanungkalit

Edisi 26/02 - 27/Ags/97
Analisa & Peristiwa

Wawancara Panangian Simanungkalit :
"Bila Harga Rumah Sederhana Dinaikkan, Pembeli Akan Kabur"



Panangian SimanungkalitSektor properti adalah sektor yang paling terpengaruh anjloknya nilai rupiah. Bahkan Menteri Perumahan Rakyat Akbar Tanjung pada Senin (25/8) kemarin mengatakan saat ini sejumlah bank berusaha menahan atau menunda pemberian kredit pemilikan rumah (KPR) yang telah disetujui. Menurut Menpera, penundaan KPR itu diakibatkan oleh karena sektor perbankan mengalami kesulitan likuiditas akibat kebijakan BI menyerap rupiah untuk mengendalikan situasi moneter terakhir ini.Sejak rupiah anjlok, perbankan sudah berancang-ancang akan menaikkan suku bunga KPR. Tetapi beberapa bank rupanya memilih mengamati situasi dan menunda perubahan suku bunga. Memang, ada beberapa bank yang mematok suku bunga kredit sampai 30 persen untuk industri konstruksi.
Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh anjloknya rupiah terhadap sektor properti, Hani Pudjiarti dari TEMPO Interaktif menemui pengamat properti Panangian Simanungkalit, 37 tahun, yang banyak menulis di berbagai media. Menurut pendiri kursus Pusat Studi Properti Indonesia (PSPI) itu, pengaruh kebijakan BI ini sangat terasa di sektor properti. Bila pengembang menaikkan harga jual rumah, sementara konsumen membeli rumah dengan kredit dari bank, maka banyak pembeli yang akan menunda pembelian," kata alumni teknik Sipil Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Wawancara berlangsung di kantornya gedung Bank Bumi Daya (BBD) Plaza di jalan Imam Bonjol, Jakarta, pada Selasa (26/8) lalu.

Mengetatnya rupiah ini apa pengaruhnya yang paling jelas terhadap sektor properti?

Di sektor properti, pengaruh kebijakan ini cukup terasa, meski tidak terlalu hebat. Mungkin karena bisnis properti sejak dua tahun lalu berada di kondisi menurun. Saya lihat karena bisnis properti bersifat jangka panjang, maka perubahan pasarnya tidak sama seperti pasar uang dan pasar modal. Dari segi teknis ada dua pengaruh kebijakan uang ketat ini, yaitu terhadap penawaran dan permintaan. Di sisi penawaran, akan banyak pengembang yang tidak siap menghadapi situasi sekarang. Karena struktur pasarnya terlalu dimanjakan oleh kebijakan properti yang masih longgar, maka umumnya pengembang agak kelabakan. Namun, pengaruh itu belum menunjukkan tingkat fatal, tergantung lamanya gonjang-ganjing rupiah ini. Menurut saya, bila semua kebijakan manajemen yang diambil alih pemerintah baik, semua akan berakhir.
Dalam situasi sekarang apakah para pengembang akan menaikkan harga?

Bisa saja itu terjadi. Biasanya karena bank yang dipakai pengembang kurang sehat, apalagi saat ini situasi likuditas ketat. Maka, bukan tidak mungkin mereka menaikkan suku bunga. Menghadapi hal ini para pembeli akan memilih menunda pembelian rumah.
Mengapa?

Sekarang harga bahan bangunan seperti semen sudah mulai melonjak. Itu akibat suku bunga kredit konstruksinya naik 30 persen. Bila suku bunga naik, maka harga perumahan naik, ini sebenarnya logis saja. Tetapi karena para pembeli sangat berharap properti sebagai investasi jangka panjang, dengan harapan harganya makin melambung, maka situasi ini menghantam mereka.
Jadi kondisi sekarang bukan saat yang tepat orang membeli rumah atau sebaiknya mengalihkan uang ke bisnis lain?

Kelihatannya begitu. Bahkan perumahan tingkat menengah ke atas atau middle up the market, umumnya akan dimasuki spekulan. Maksudnya akan banyak pembeli apartemen yang membayar dengan dollar. Kemudian akibat tingginya nilai dollar, kelompok ini bisa mengalihkan perhatiannya, tidak lagi berinvestasi properti tapi ke bisnis lain seperti valuta asing atau deposito.
Mengapa pilihan jatuh ke deposito dan valuta asing?

Yang jelas karena masyarakat merasakn untuk menyimpan atau menanamkan uangnya dengan jangka pendek, ya deposito lah paling mengena. Apalagi bank-bank kini berlomba mencari dana dengan memberikan bunga khusus bagi para deposan besar. Bahkan bank swasta secara tidak resmi mengeluarkan bunga deposito sebesar 36 persen sampai 75 persen. Bukankah itu trik yang menggiurkan untuk menggaet deposan.

Mungkin kondisi ini dimanfaatkan para konsumen properti yang suka berinvestasi. Melihat ada keinginan bank untuk menaikkan KPR, meski belum jelas benar berapa tinggi, para pengembang deg-degan juga. Jika kredit naik, mau tidak mau, harga rumah yang ditawarkan juga harus naik sedikit. Padahal baru tanggal 7 Juli lalu dikeluarkan pembatasan pemberian kredit di sektor properti, maksudnya untuk menghindari kredit macet perbankan yang menumpuk di properti. Kebijakan regulasi ini masih mempertahankan pemberian kredit untuk rumah sederhana dan rumah sangat sederhana. Saya melihat pengembang rumah menengah ke bawah harus memperhatikan RS dan RSS ini, karena peminatnya tinggi sekali.
Dengan tawaran menggiurkan di deposito, apakah sektor properti akan mengalami kemandekan yang hebat?

Untuk konsumen menengah ke atas sangat terpengaruh. Tetapi untuk konsumen menengah ke bawah, yang sejak tiga tahun terakhir ini mendominasi permintaan properti, sangat tergantung pada kebijakan pemerintah. Maksudnya, bila pemerintah akan menaikkan suku bunga KPR dari Bank Tanbungan Negara (BTN), mungkin saja kelompok ini akan terpengaruh. Sampai hari ini bunga kredit KPR sekitar 30 persen dan itu katanya bersifat sementara. Namun dalam skenario saya mestinya pemerintah tidak gegabah menaikkan KPR, harusnya kelompok ini disubsidi. Artinya, dilihat dari sisi prioritas pembangunan, KPR untuk kelompok menengah ke bawah tidak perlu dinaikkan suku bunganya. Pemerintah bisa mensubsidi tambahan agar properti, terutama perumahan menengah ke bawah bisa jalan terus.
Apakah akan mendatangkan bahaya besar bila suku bunga KPR untuk RS dan RSS ini dinaikkan?

Jelas. Bila dinaikkan maka pengembang yang selama ini kesulitan likuiditas akan makin sulit lagi posisinya. Jangan lupa, yang banyak mendominasi properti saat ini adalah pengembang menengah ke bawah. Yang terjadi di pengembang menengah ke atas karena pembelinya sudah kabur dan lari, buntutnya mereka 'pun ikut jadi spekulan. Saya sarankan jangan menaikan suku bunga KPR untuk yang menengah ke bawah. Bila harganya juga dinaikan gara-gara situasi ini, tentu mereka akan lari dari pasar. Akhirnya terjadi kemandekan karena kredibilitas terhadap bank menurun. Jelas ini membahayakan perbankan yang selama ini membiayai properti. Bahkan untuk properti berjangka panjang, misalnya 15 tahun, bila suku bunganya ikut dinaikkan maka konsumen yang sudah mencicil KPR dulu (sebelumnya) akan ikut terbebani juga.
Menurut Anda sampai kapan situasi ini akan berlangsung?

Saya yakin dan memperkirakan dalam tiga bulan mulai Agustus sampai Oktober nanti deprisiasi rupiah akan membaik. Dengan sendirinya bisnis properti menguat. Kendati rupiah saat ini anjlok, toh bisnis properti belum terlalu goyah. Tetapi bisa saja prediksi saya meleset bila ada perubahan kondisi yang berkepanjangan.
Bagaimana sektor properti harus bersikap dalam kondisi ini?

Kembalinya suasana baru dan normal di properti itu tergantung sikap mental pelaku otoritas di berbagai sektor ekonomi. Misalnya pemerintah, swasta, maupun investor individual pemilik uang. Karena ini masalah likuiditas, soal gonjang-ganjing rupiah, maka seharusnya diredam dengan cara menguatkan fundamental keuangan kita. Yaitu menata ulang desain kebijakan properti yang harus dipikul bersama-sama pemerintah, swasta, maupun investor individual pemilik uang.

Copyright © PDAT


Sumber:
http://tempo.co.id/ang/min/02/26/utama3.htm

0 comments:

Post a Comment