This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Monday, June 22, 2015

Gadis Ini Tak Sadar Sedang Video Call Dengan 'Hantu'

Gadis Ini Tak Sadar Sedang Video Call Dengan 'Hantu'

Gadis Ini Tak Sadar Sedang Video Call dengan "Hantu"

Gambar video Call Elizabeth dengan hantu (Istimewa)Gambar video Call Elizabeth dengan hantu (Istimewa)
Kisah misteri hadir dari seorang gadis bernama Elizabeth Simanungkalit yang mengaku melakukan video call dengan hantu.
Solopos.com, SIDOARJO – Kisah misteri diceritakan seorang gadis bernama Elizabeth Simanungkalit. Gadis ini menceritakan kisahnya melakukan video call dengan “hantu”.
Elizabeth menceritakan kisahnya melalui akun Facebook. Sebelumnya, dia mengaku berniat melakukan video call dengan temannya di Palembang. Alih-alih sang teman, sesosok makhluk mengerikan yang menjawab video call Elizabeth.
Percakapan Elizabeth dengan sahabatnya di Palembang (Istimewa/Facebook)
Percakapan Elizabeth dengan sahabatnya di Palembang (Istimewa/Facebook)
“Jadi kan aku video call sama temen ku dari palembang! Sebenernya dia bilang sama aku kalau hape nya dia ketinggalan di Gudang tapi dia bilang itu via SMS, dan aku pikir udah di ambil sama dia tu hape nya dia,” tulis Elizabeth, Kamis (11/6/2015) lalu.
Elizabet lantas melanjutkan ceritanya dengan menyebut bahwa temannya ternyata belum mengambil ponsel yang tertinggal. “Pertanyaannya itu, siapa yang aku video call barusan?? Dan kalau di bright nya di tambah jadi Tauk ah,” tulisnya yang menyertakan gambar mengerikan dipostingannya.
Unggahan foto Elizabeth lantas menuai banyak reaksi dari para pengguna Facebook lain. Elizabeth sendiri sempat ditanyai soal penampakan yang tertangkap olehnya itu. Dia lantas kembali menjelaskan perihal unggahannya itu, Minggu (14/6/2015), pekan lalu:
“Jadi ceritanya saya di Introgasi sama pertanyaan “Berapa lama mbak kenal sama hantu itu?” boro” kenalan, 1 menit an aja dia gak ngomong apa”. Dari awal aku post ini juga gak ada perkataanku yang mengatakan kalau ini “Hantu”. Dan aku teliti lagi, masak iya Roh bisa megang HP? Sedangkan Dinda itu anaknya penakut, boro” ngerjain aku, denger cerita serem aja dia udah pingsan. Ditambah 1 keluarga kecuali dinda pergi ke Sodara, jadi Pertanyaannya siapa kah ini??”

Sumber:
http://www.solopos.com/2015/06/20/kisah-misteri-gadis-ini-tak-sadar-sedang-video-call-dengan-hantu-616363



Thursday, June 18, 2015

ORANG TOBA: Austronesia, Austroasiatik, dan Negrito

ORANG TOBA
Austronesia, Austroasiatik, dan Negrito
Oleh: Edward Simanungkalit *

Peta Y-DNA Haplogroup O
          Melalui DNA-nya nyata bahwa Orang Toba merupakan campuran dari:  Austronesia 55%, Austroasiatik 25%, dan Negrito 20%. Demikian menurut  Mark Lipson (2014:87) dari Massachusetts Institute of Technology, Cambridge pada Juni 2014 lalu. DNA Orang Toba ini Haplogroup O. Penelitian arkeologi  di pesisir timur Sumatera bagian Utara dari Deli Serdang hingga Lhok Seumawe menemukan bahwa para pendukung budaya Hoabinh telah datang pada masa Mesolitik di sekitar 10.000-6.000 tahun lalu. Penelitian paleoekologi juga telah dilakukan Bernard K. Maloney di Humbang, yaitu: Pea Simsim di sebelah barat Nagasaribu,  Tao Sipinggan di dekat Silaban Rura, Pea Sijajap di Simamora Nabolak, dan Pea Bullock di dekat Silangit. Penelitian tersebut menemukan adanya aktivitas manusia di Humbang sekitar 6.500 tahun lalu. Ini jelas aktivitas  Orang Negrito, pendukung budaya Hoabinh, dari ras Australomelanesoid. Penelitian Balai Arkeologi Medan di Samosir menemukan bahwa para pendukung budaya Dongson masuk ke Sianjur Mula-mula sekitar 800 tahun lalu (+/- 200 tahun). Budaya Toba didominasi oleh kebudayaan Dongson. Pendukung budaya Dongson merupakan ras Mongoloid dari kelompok kebudayaan Austronesia. Khusus yang datang ke Sianjurmulamula sudah merupakan campuran Austronesia dengan Austroasiatik sejak dari Asia daratan (Lihat: ORANG TOBA: Asal-usul, Budaya, Negeri, dan DNA-nya, dalam http://edwardsimanungkalit.blogspot.com).

         Mark Lipson, PhD. dari MASSACHUSETTS INSTITUTE OF TECHNOLOGY melakukan penelitian atas DNA Toba dan hasilnya dilaporkan dengan judul: “New statistical genetic methods for elucidating the history and evolution of human populations” pada Juni 2014. Mark Lipson meneliti penutur Austronesia dengan menggunakan data-data dari HUGO Pan-Asian SNP Consortium dan CEPH-Human Genome Diversity Panel (HGDP) berdasarkan data penelitian dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman di Indonesia.

 

Austronesia
Kebudayaan Dongson adalah kebudayaan zaman perunggu yang berkembang di lembah Song Hong, Vietnam dan secara keseluruhan dapat dinyatakan sebagai hasil karya kelompok bangsa Austronesia yang terutama menetap di pesisir Annam. Kebudayaan ini sendiri mengambil nama situs Dongson di Tanh Hoa dan berkembang antara abad ke-5 hingga abad ke-2 SM. Masyarakat Dongson adalah masyarakat petani dan peternak yang handal serta terampil memancing. Mereka menetap dalam rumah-rumah panggung besar dengan atap yang melengkung lebar dan menjulur menaungi emperannya. Masyarakat Dongson juga dikenal sebagai masyarakat pelaut, yang melayari seluruh Laut China hingga ke selatan dengan perahu panjang bercadik dua.
China juga ikut mempengaruhi Kebudayaan Dongson sehubungan dengan adanya ekspansi China sampai ke perbatasan Tonkin. Pengaruhnya dapat dilihat pada motif-motif hiasan Dongson yang mengambil model benda-benda perunggu China. Kesenian Dongson berkembang sampai penjajahan Dinasti Han yang merebut Tonkin pada tahun 111 SM. Meski demikian, kebudayaan Dongson kemudian mempengaruhi kebudayaan Indochina selatan. Benda-benda arkeologi dari Dongson sangat beraneka ragam yang nampak dari artefak-artefak kehidupan sehari-hari ataupun peralatan bersifat ritual. Perunggu adalah bahan pilihan dalam benda-benda seperti kapak dengan selongsong, ujung tombak, pisau belati, mata bajak, topangan berkaki tiga dengan bentuk yang kaya dan indah. Kemudian gerabah dan jambangan rumah tangga, mata timbangan dan kepala pemintal benang untuk bertenun, perhiasan-perhiasan termasuk gelang dari tulang dan kerang, manik-manik dari kaca dan lain-lain yang diberi hiasan. Bentuk geometri merupakan ciri dasar dari kesenian ini di antaranya berupa jalinan arsir-arsir, segitiga dan spiral yang tepinya dihiasi garis-garis yang bersinggungan. Karya mereka yang terkenal adalah nekara besar serta patung-patung perunggu yang sering ditemukan di makam-makam pada tahapan terakhir masa Dongson (wikipedia).
Kebudayaan Dongson, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, merupakan hasil  karya  dariorang-orang Austronesia. Kebudayaan masa prasejarah tersebut tersebar di berbagai wilayah di Asia Tenggara daratan, kepulauan Indonesia, Filipina, Taiwan, pulau-pulau Pasifik hingga kepulauan Fiji. Ke barat, bukti-bukti tersebut dapat ditemukan hingga pulau Madagaskar, Afrika. Para ahli dewasa ini menyatakan bahwa migrasi orang-orang Austronesia terjadi dimulai dengan berlayar dari China Selatan menyeberangi lautan menuju Taiwan dan kepulauan Filipina. Migrasi Austronesia berlangsung terus hingga mulai memasuki Sulawesi, Kalimantan dan pulau-pulau lain di sekitarnya, serta  mencapai Maluku dan Papua. Dalam masa itu pula orang-orang Austronesia dari daratan Asia Tenggara berangsur-angsur memasuki semenanjung Malaka dan pulau-pulau bagian barat Indonesia. Migrasi ke arah pulau-pulau di Pasifik berlanjut terus hingga awal Masehi. Mereka juga bermigrasi ke Sianjur Mula-mula, di Negeri Toba. 
Hasil gambar untuk austronesia


Austroasiatik
            Arkeolog Harry Truman Simanjuntak mengemukakan pendapatnya, bahwa rumpun bahasa Austronesia merupakan bagian dari bahasa Austrik. Bahasa Austrik ini berawal dari daratan Asia, kemudian terbagi dua menjadi Austroasiatik dan Austronesia. Bahasa Austroasiatik menyebar ke daratan Asia, misalnya Indo-China, Thailand, dan Munda di India Selatan. Sedang bahasa Austronesia menyebar ke selatan dan tenggara seperti Indonesia, Filipina, Malaysia, sampai ke kepulauan Pasifik.

           Hasil penelitian menunjukkan adanya dua arus migrasi besar ke Indonesia yang menjadi cikal bakal leluhur langsung bangsa Indonesia. Pertama, penutur Austroasiatik yang tiba pada 4.300-4.100 tahun lalu dan, kedua, penutur Austronesia yang datang pada kisaran 4.000 tahun lalu. Pada 4.300-4.100 tahun lalu, para penutur Austroasiatik mulai bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja melewati Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Salah satu penandanya ialah temuan tembikar berhias tali di kawasan itu yang bentuknya sama dengan tembikar serupa di selatan China hingga Taiwan.

            Kemudian, pada 4.000-an tahun lalu, muncul arus migrasi penutur Austronesia lewat sisi timur Indonesia, mulai dari Sulawesi, Kalimantan, dan sebagian ke selatan, seperti Nusa Tenggara, menuju Jawa dan Sumatera. Arus migrasi itu ditandai dengan penemuan tembikar berslip merah di Indonesia Timur, juga di Taiwan, Filipina, dan Kepulauan Pasifik. Usia tembikar itu relatif lebih muda dibandingkan dengan tembikar berhias tali. Arus migrasi terjadi setelah pertanian di sekitar China Selatan (asal kedua rumpun itu) berkembang pesat hingga terjadi ledakan jumlah penduduk yang memaksa mereka bermigrasi. Kedua ras Mongoloid yang menggunakan bahasa berbeda ini akhirnya bertemu di sekitar Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Penutur Austronesia ternyata lebih berhasil  mempengaruhi penutur Austroasiatik, sehingga berubah menjadi penutur bahasa Austronesia. Meski demikian, sebelum keduanya tiba, di Indonesia sudah tinggal suku bangsa lain, yaitu Australomelanesoid, yang hingga sekarang hidup di wilayah Indonesia timur, seperti Papua (Kompas, 07/08-2014). Adapun yang termasuk ke dalam rumpun Austroasitik, yaitu: Munda-ri, Khasi-Khmuic, dan Mon-Khmer.  
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Austroasiatik


Negrito
          Negrito ini terdiri dari beberapa kelompok etnis    yang mendiami tempat-tempat terasing di Asia Tenggara. Populasinya sampai saat ini meliputi orang Andaman di Kepulauan Andaman, Semang di Malaysia, Mani di Thailand, serta Aeta, Ati, dan 30 suku lain di Filipina. Genetik Negrito berasal dari Afrika dengan hubungan genetik langsung. Orang Negrito merupakan penduduk yang paling awal di Semenanjung Malaka dan merupakan Orang Asli di Malaysia. Orang Negrito ini lebih dahulu memasuki Sumatera yang merupakan pendukung budaya Hoabinh termasuk ke Humbang di Negeri Toba.

         Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Negritos dari Asia Tenggara ke New Guinea memiliki hubungan kelanjutan yang dekat dengan tengkorak Australo-Melanesia. Studi genetik Negrito Filipina menunjukkan bahwa mereka sama dengan populasi di sekitar Asia dan semuanya memiliki mtDNA Haplogroup M, kecuali dua kelompok dari Andaman. MtDNA Haplogroup M ini ditemukan di Afrika Timur, Asia Timur, dan Asia Selatan, yang menunjukkan migrasi asalnya dari Afrika Timur mengikuti rute pesisir melalui India dan Asia Tenggara. Negrito ini pernah juga menghuni Taiwan, tetapi populasinya menyusut hingga sekarang dan hanya tinggal satu kelompok kecil.
                                                                                                                                                                                                      Negrito
                                                                                                                                               

Penutup
          Orang Toba adalah percampuran 2 (dua) ras, yaitu ras Mongoloid dengan ras Australomelanesoid, sedang DNA-nya terdiri dari: Austronesia (55%), Austroasitik (25%), dan Negrito (20%). Orang Austronesia dan orang Austroasiatik sama-sama berasal dari ras Mongoloid, sehingga ras Mongoloid mencapai 80% di dalam diri Orang Toba dan ras Australomelanesoid (Negrito) mencapai sekitar 20%. Biasanya ras Mongoloid ini memiki DNA dengan Haplogroup O, sedang ras Australomelanesoid memiliki DNA dengan Haplogroup M.
    
          Berdasarkan hasil analisa yang dilakukannya, maka Mark Lipson (2014:85-86) kemukakan secara spesifik hubungan genetik Orang Toba sekaligus asal-usulnya sebagai berikut:
We selected a scaffold tree consisting of 18 populations that are approximately unadmixed relative to each other: Ami and Atayal (aboriginal Taiwanese); Miao, She, Jiamao, Lahu, Wa, Yi, and Naxi (Chinese); Hmong, Plang, H'tin, and Palaung (from Thailand); Karitiana and Suru(South Americans); Papuan (from New Guinea); and Mandenka and Yoruba (Africans). This set was designed to include a diverse geographical and linguistic sampling of Southeast Asia (in particular Thailand and southern China) along with outgroups from several other continents (Lipson et al., 2013) (see Methods). We have previously shown that MixMapper results are robust to the choice of scaffold populations (Lipson et al., 2013), and indeed our findings here were essentially unchanged when we repeated our analyses with an alternative, 15-population scaffold  and with 17 perturbed versions of the original scaffold.

            Lipson menyimpulkan bahwa Orang Toba merupakan keturunan suku Ami dan suku Atayal dari  suku asli Taiwan (Austronesia), keturunan suku H’Tin dari Thailand (Austroasiatik), dan Negrito yang berkerabat dengan Papua. Percampuran antara Austroasiatik dengan Austronesia tersebut tidak terjadi di Negeri Toba, melainkan terjadi di Asia daratan di mana Ami & Atayal merupakan keturunan H’Tin (Lipson, 2015:85-90). Dengan demikian, yang bercampur di Negeri Toba hanyalah ras Mongoloid (campuran Austronesia & Austroasiatik) yang datang ke Sianjur Mula-mula dengan ras Australomelanesoid (Negrito) yang sudah lebih dulu datang ke Humbang dari Teluk Tonkin, Vietnam. 

 Melalui penelitian DNA, maka jelas bahwa Orang Toba berasal dari ras Mongoloid yang merupakan penutur  bahasa Austronesia  bercampur dengan  orang Negrito  dari ras  Australomelanesoid. DNAnya termasuk dalam Haplogroup O yang terdiri dari: Austronesia, Austroasiatik, dan Negrito. Orang Toba bukan dari Hindia Belakang seperti diajarkan selama ini, karena DNA-nya berbeda. Orang Toba itu juga bukan Israel yang hilang, karena DNA Orang Toba tidak sama dengan DNA Orang Israel. Akhirnya, asal-usul Orang Toba tadi berbeda sekali dengan turiturian (folklore) yang diuraikan W.M. Hutagalung dalam bukunya yang laris-manis: “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak”. *** (01062015).

*Pemerhati Sejarah Alternatif Peradaban




TAROMBO ASAL-USUL ORANG TOBA

           Keterangan: Orang Toba berasal dari ras Mongoloid (Haplogroup O) dengan Negrito (Haplogroup M).


Catatan:
Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan sebelumnya berjudul:
ORANG TOBA: Asal-usul, Budaya, Negeri, dan DNA-nya
Klik di sini





Sunday, June 7, 2015

O R A N G T O B A : Asal-usul, Budaya, Negeri, dan DNA-nya

O R A N G    T O B A
Asal-usul, Budaya, Negeri, dan DNA-nya
Oleh:  Edward Simanungkalit *


Gunung Toba meletus 74.000 tahun lalu dan dari kalderanya terjadilah Danau Toba. Letusan terbesar di sepanjang sejarah ini telah memusnahkan banyak kehidupan.  Para ahli biologi molekuler menemukan bahwa telah terjadi penyusutan genetik  akibat letusan tersebut dan manusia sekarang adalah keturunan dari sedikit manusia itu. Letusan berikutnya masih terjadi lagi dalam skala lebih kecil 30.000 tahun lalu di bagian selatan. Pada masa itu Sumatera, Jawa, Kalimantan, Malaka dan pulau-pulau kecil di sekitarnya masih menyatu dengan benua Asia, yang dikenal dengan nama Sundaland.
Sekitar 20.000 tahun terakhir  terjadi kenaikan air laut setinggi 120-130 meter, kata  geolog Dr. Danny Hilman (20/05-2013), dalam seminar peluncuran bukunya: “PLATO TIDAK BOHONG: Atlantis Ada Di Indonesia” (www.youtube.com). Di sekitar 11.600 tahun lalu banyak sekali terjadi letusan gunung berapi, gempa bumi, dan banyak juga bencana banjir,  sehingga pada akhirnya menenggelamkan Sundaland menjadi seperti sekarang. Ada juga peristiwa air laut naik tiba-tiba hingga 20 meter yang terkenal dengan nama younger dryes setelah suhu udara demikian panas hingga mencairkan es pada zaman es akhir.
Bencana alam dan banjir mengakibatkan migrasi manusia dari Sundaland ke Asia. Penelitian DNA manusia, yang dilakukan Stephen Oppenheimer, memperlihatkan migrasi itu hingga tiba pada kesimpulan bahwa Sundaland merupakan induk peradaban dunia, dalam bukunya “Eden in The East: The Drowned Continent of Southeast Asia” (1998). Nenek moyang semua manusia berasal dan keluar dari Afrika (Out of Africa) dan hanya memiliki satu jalur utama migrasi ke Asia yaitu melalui Sundaland sekitar 70.000 tahun lalu, baru kemudian menyebar ke berbagai kawasan di Asia. Jalur migrasi manusia ini dipetakan oleh 90 orang lebih ilmuwan Asia dari konsorsium Pan-Asian SNP di bawah naungan Human Genome Organisation (HUGO) yang melakukan studi terhadap 73 populasi di Asia Tenggara dan Asia Timur. Dan, akar genetik manusia berhubungan sangat erat dengan kelompok etnik dan kelompok bahasa (Detik, 11/12-2009Kompas,14/12-2009 & 12/12-2011). Awalnya terjadi migrasi dari Sundaland ke Asia  (Out of Sundaland) dan setelah Sundaland tenggelam barulah migrasi terjadi dari Asia ke kawasan bekas Sundaland (Out of Taiwan).



Pesisir Timur Sumatera Bagian Utara
Penelitian arkeologi yang dilakukan oleh H.M.E. Schurmann di dekat Binjai (1927), Van Stein Callenfels di dekat Medan, Deli Serdang, Kupper di Langsa, Aceh Timur (1930), MacKinnon di DAS Wampu, Prof. Truman Simanjuntak dan Budisampurno di Sukajadi, Langkat (1983), di Lhok Seumawe dan oleh Tim Balai Arkeologi Medan (Balarmed) di Aceh Tamiang (2011) menemukan bahwa para pendukung budaya Hoabinh sudah datang pada masa Mesolitik di sekitar 10.000-6.000 tahun lalu (Wiradnyana, 2011:19-21).
Belakangan ditambah dengan hasil penelitian Balarmed di Bener Meriah di Aceh (2012). Migrasi di pesisir timur Pulau Sumatera ini berlangsung pada periode Mesolitik berkisar 7.000-5.000 tahun lalu (Boedhisampurno, 1983; McKinnon, 1990; Belwood, 2000:253). Salah satu indikasinya yaitu dengan ditemukannya budaya Hoabinh berupa peralatan batu, yang disebut Sumatralith (Wiradnyana, 2011:127). Kemudian Ketut Wiradnyana mengemukakan bahwa temuan fosil dari Loyang Mandale, Aceh Tengah berusia 8.430 tahun (Lintas Gayo, 11/07-2014).
Para pendukung budaya Hoabinh juga sudah ditemukan kedatangannya di Pulau Nias. Meskipun demikian, di Nias dan Kuantan Singingi, Riau telah ditemukan kehidupan lebih awal dari masa Paleolitik 10.000 tahun lalu dan selebihnya (Wiradnyana, 2011:9-17, 25-290). Baru-baru ini juga telah ditemukan fosil manusia  lebih tua di Gua Harimau, desa Padang Bindu, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan berusia 16.000 tahun (Tribunnews,19/05-2014). Penggalian masih akan dilanjutkan, karena diperkirakan memiliki fosil berusia mencapai 60.000 tahun bahkan lebih. Demikian gambaran tentang Sumatera bagian Utara.

Kebudayaan Hoabinh di Toba
Dalam bukunya “Prasejarah Kepuluan Indo-Malaysia”, Peter Bellwood (2000:339) menulis: “Sebagai contoh, sebuah inti polen dari rawa Pea Sim-sim dekat Danau Toba di Sumatera bagian Utara (1.450 m di atas permukaan laut) menunjukkan bahwa pembukaan hutan kecil-kecilan mungkin sudah dimulai pada 4.500 Sebelum Masehi.”. Di sini Bellwood merujuk hasil penelitian Bernard K. Maloney  di daerah Humbang, Sumatera Utara. Penelitian paleoekologi atas pembukaan hutan dilakukan dengan menganalisis serbuk sari (polen) di Pea Sim-sim, Pea Bullock, Pea Sijajap, dan Tao Sipinggan. Penelitian ini membuktikan, bahwa  telah ada aktivitas manusia sekitar 6.500 tahun lalu di Humbang (www.anu.edu.au; www.manoa.hawaii.edu;  www.lib.washington.edu). Bila dihubungkan dengan  temuan fosil berusia 8.430 tahun di Loyang Mandale, Aceh Tengah, maka paling besar kemungkinannya bahwa mereka adalah para pendukung kebudayaan Hoabinh.
Mereka merupakan bangsa setengah menetap, pemburu, bercocok-tanam sederhana, dan bertempat tinggal di gua. Mereka menggunakan kapak genggam dari batu, kapak dari tulang dan tanduk, gerabah berbentuk sederhana dari serpihan batu, batu giling, dan mayat yang dikubur dengan kaki terlipat/jongkok dengan ditaburi zat warna merah, mata panah, dan flakes. Makanannya berupa tumbuhan, buah-buahan, binatang buruan atau kerang-kerangan. Kebudayaan Hoabinh berasal dari zaman batu tengah di masa Mesolitik sekitar 10.000 - 6.000 tahun lalu. Para pendukung kebudayaan Hoabinh ini merupakan ras Australomelanesoid. Mereka datang dari dataran rendah Hoabinh di dekat Teluk Tonkin, Vietnam (bnd. Edward Simanungkalit, 2012).

Kebudayaan Austronesia di Toba
Robert von Heine Geldern mengemukakan bahwa kelompok pendukung kebudayaan Dong Son bermigrasi dari Selat Tonkin, Vietnam ke Sumatera bagian Utara pada masa Neolitik sekitar 6.000-2.000 tahun lalu (Pasaribu, 2009:ii). Sedang Ketut Wiradnyana dari Balai Arkeologi Medan mengatakan: “Sementara di Tanah Batak didominasi oleh budaya Dong Son  (salah satu budaya yang berasal dari Vietnam Utara) yang perkembangannya sekitar 2.500 tahun yang lalu. Budaya Dong Son  ini ditandai dengan adanya logam dan pola hias yang ditemukan di rumah Batak Toba, yang menggambarkan binatang atau manusia dengan hiasan bulu-bulu panjang.” (Waspada,  11/01-2012).
Pada Juli 2013, Balai Arkeologi Medan melakukan penelitian "Jejak Peninggalan Tradisi Megalitik di Kabupaten Samosir" dengan melakukan kegiatan ekskavasi dan survei arkeologi. Disimpulkan bahwa kelompok migran pendukung budaya Dong Son telah datang dari China bagian Selatan  melalui jalur timur menuju ke Taiwan, terus ke Filipina dan  diteruskan lagi ke Sulawesi dan seterusnya ke Sumatera hingga mencapai Samosir (Wiradnyana & Setiawan, 2013:7). Berdasarkan tradisi megalitik di Samosir tadi, Ketut Wiradnyana memperkirakan bahwa migrasi ke Samosir terjadi pada sekitar penghujung millenium pertama masehi hingga awal millenium kedua atau sekitar 800 tahun lalu.
Kelompok pendukung kebudayaan Dong Son telah mengenal teknologi pengolahan logam, pertanian, berternak, menangkap ikan, penggunaan moda transportasi, bertenun, membuat rumah, dll. Kebudayaan yang berkembang di Vietnam ini merupakan kebudayaan zaman perunggu. Masyarakat Dong Son adalah masyarakat
petani dan peternak yang handal dan terampil menanam padi, memelihara kerbau dan babi, serta memancing. Mereka  juga dikenal sebagai masyarakat pelaut, bukan hanya nelayan, tetapi juga pelaut yang melayari seluruh Laut Cina dan sebagian laut-laut selatan dengan perahu yang panjang (wikipedia).Masyarakat Dong Son berasal dari rasMongoloid. Kebudayaan Dong Son secara keseluruhan dapat dinyatakan sebagai hasil karya kelompok bangsa Austronesia. Beberapa pakar menggolong rumpun bahasa Austro-Asiatik dengan rumpun bahasa Austronesia dan menamakannya rumpun bahasa besar atau superfamili Austrik.

Orang Toba Dari Negeri Toba
          Pendukung budaya Hoabinh yang sudah datang ke Humbang 6.500 tahun lalu mengalami perjumpaan dengan pendukung budaya Dong Son. Perjumpaan ini akhirnya didominasi oleh kebudayaan Dong Son, karena lebih maju daripada kebudayaan Hoabinh. Kebudayaan Dong Son merupakan kelompok kebudayaan Austronesia dan orang Toba merupakan penutur bahasa Austronesia. Istilah “Toba” dipergunakan sesuai dengan cap Raja Singamangaraja XII yang menyebut “Raja dari Negeri Toba”, sedang Sitor Situmorang memakainya di dalam bukunya “Toba Na Sae”. Wilayah Toba yang dimaksud yaitu: Toba Samosir, Toba Humbang, Toba Holbung, dan Toba Silindung.
Perjumpaan dua ras, yaitu ras Australomelanesoid dan ras Austronesia-mongoloid, telah melahirkan orang Toba. Sehubungan dengan DNA Toba, maka baru-baru ini Mark Limpson meneliti penutur Austronesia dengan menggunakan data-data dari HUGO Pan-Asian SNP Consortium dan CEPH-Human Genome Diversity Panel (HGDP). Statistik yang dibuat Mark Lipson (2014:87) tentang orang Toba memiliki unsur dan perbandingan seperti berikut: Austronesia (55%), Austro-Asiatic (25%), dan Negrito (20%). Ras Austronesia yang dimaksud di sini khususnya dari ras Mongoloid dengan DNA Haplogroup O. Sementara ras Austro-Asiatic hampir dua pertiga memiliki DNA dengan Haplogroup O. Sedang ras Negrito  banyak memiliki DNA dengan Haplogroup M dan selain itu memang berasal dari Afrika sebagai asal migrasi awal, sehingga tidak mengherankan kalau orang Toba memiliki DNA yang berasal dari Afrika. Akan tetapi, pengaruh budaya Dongson lebih dominan di dalam budaya Toba dan Ras Austronesia-mongoloid dominan di dalam diri orang Toba dan DNA Toba ditemukan memiliki Haplogroup O (Lihat: O-M122O-M95O-MSY2.2).


***
        Akhirnya, orang Toba merupakan percampuran ras Australomelanesoid dengan ras Mongoloid dari kelompok kebudayaan Austronesia.  Dari penelitian biologi molekuler bahwa DNA orang Toba ialah Haplogroup O yang terdiri dari Austronesia (55%), Austro-asiatic (25%), dan Negrito (20%). Sebelum Sianjur Mula-mula dihuni sekitar 800-1.000 tahun lalu, maka telah lebih dulu manusia ada di Humbang sekitar 6.500 tahun lalu. Orang Toba itu dari Negeri Toba: Toba Humbang, Toba Samosir, Toba Holbung, dan Toba Silindung (Jakarta, 03012015).



*Pemerhati Sejarah Alternatif Peradaban



Tulisan ini telah dimuat di:

Harian SINAR INDONESIA BARU (cetak)
Edisi Maret 2015

Harian PALAPA POS TAPANULI (cetak)
Edisi Sabtu, 20-23 Pebruari 2015

LINTAS GAYO.com, 8 Maret 2015
http://www.lintasgayo.com/53595/orang-toba-dna-negeri-budaya-dan-asal-usulnya.html

APA KABAR SIDIMPUAN ONLINE, 11 Maret 2015
http://apakabarsidimpuan.com/2015/03/orang-toba-dna-negeri-budaya-dan-asal-usulnya/

Generasi Muda Batak, 10 Maret 2015
http://www.mahasiswabatak.com/2015/03/orang-toba-dna-negeri-budaya-dan-asal.html

Berita Simalungun, 14 April 2015
http://www.beritasimalungun.com/2015/04/orang-toba-dna-negeri-berita-dan-asal.html