Monday, May 11, 2015

''Jangan Panggil Aku Butet!'' Pentas pada 25 Oktober

''Jangan Panggil Aku Butet!'' Pentas pada 25 Oktober

Pentas Drama Musikal Jangan Panggil Aku Butet (Dok. GATRAnews)
Pentas Drama Musikal Jangan Panggil Aku Butet (Dok. GATRAnews)
Jakarta, GATRAnews - Setelah sukses menampilkan dua kali pertunjukkan di Galeri Indonesia Kaya pada akhir Agustus 2014, kini kelompok Voice of Indonesia by Rio Silaen kembali mementaskan ulang karya musikal dengan berlatar belakang budaya Batak, yang berjudul Jangan Panggil Aku Butet.

Musikal Butet kali ini disuguhkan dengan Penataan Musik dari Teffy Mayne, dan arahan gerak dan tari oleh Elza Simanungkalit. Diperkuat oleh para aktor: Rita Matumona, Paulus Simangunsong, Rami Kinara (yang sebelumnya juga tampil dalam Opera Batak) dan salah satu stand up comedian Gita "Bhebhita" Butar-Butar.

Pementasan Butet ini akan ditampilkan di PPHUI, Kuningan, Jakarta, pada 25 Oktober, dengan dua kali pementasan pada pukul 15.00 dan 19.00 WIB. 

Harga tanda masuk untuk menyaksikan pementasan ini terbagi dalam tiga kelas, Platinum Rp 150 ribu, Gold Rp 100 ribu, dan Silver Rp 75 ribu. 

Tiket bisa dipesan melalui online di www.voiceofindonesia.co.id atau di kantor VOI Jl Cikatomas 1 no 22, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Teater Musikal ini mengisahkah tentang perjuangan tiga gadis Batak yang bernamakan sama, Butet. 

Butet yang pertama, adalah seorang Gadis yang ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi di luar negeri. Demi mimpi dan cita-citanya dia harus meninggalkan keluarga dan negaranya hanya utk sementara waktu. Namun keluarganya tidak mendukung impian dan cita-cita nya. Karena keluarganya masih ber prinsip bahwa wanita sepatutnya mengerjakan hal-hal domestik, seperti tinggal di rumah, mengurus anak dan suami.

Yang kedua adalah Butet, seorang gadis yang telah ditinggal dan ditelantarkan orang tua nya sejak kecil. Butet yang satu ini sangat berjiwa sosial, peduli dengan lingkungan dan sekitarnya. Sama seperti Kartini dulu, dia mempunyai kecintaan terhadap anak-anak pinggiran dan peduli dengan pendidikan anak-anak Bangsa, yang secara tidak langsung juga nantinya akan menjadi generasi penerus Negeri ini. Dengan segala keterbatasan dan kemampuannya, dia memberanikan diri untuk menjadi volunteer dan mengajar sebagai Guru di daerah anak-anak buangan dipinggir kota.

Kedua Butet ini saling bersahabat, mereka berdua bertekad dengan kemampuan masing-masing untuk memberikan kontribusi kepada bangsa ini. Suatu saat nanti mereka akan membuat sebuah Rumah Penampungan untuk anak-anak pinggiran atau anak-anak yang kurang beruntung. Namun karena berbagai kendala, termasuk Kerusuhan Mei 98 yang sempat terjadi di Negara ini, maka impian itu sempat pupus. Rumah yang sempat mereka bangun, habis dihancurkan dan dirusak beserta segala isinya, anak-anak kecil itu menjadi korban penyiksaan…termasuk Butet dan beberapa teman wanita nya yang disiksa dan direnggut kehormatannya.

Impian untuk memajukan bangsa, kenginan mereka untuk ber kontribusi pada bangsa Indonesia akhirnya pupus. Karena bangsa yang mereka cintai, telah berkhianat. Butet yang berada diluar negeri, tidak mau kembali pulang untuk membangun negeri ini. Dan Butet yang direnggut kehormatannya telah mengubur cinta nya pada Bangsa nya sendiri. Bangsa yang mereka berdu cintai, telah berkhianat.

Kedua Butet yang bersahabat ini, dulu pernah sempat bercakap-cakap tentang sosok wanita Indonesia yang menjadi Pahlawan buat negera. Kartini, Fatmawati, dan sebuah nama yang disebut dalam sebuah lagu perjuangan yang sangat terkena, Butet!

Itulah tokoh Butet yang ketiga. Butet dari karakter lagu yang hidup di jaman peperangan dulu. Yang ingin mencari tahu nasib dan keberadaan orang tua nya yang diutus perang dan tak pernah kembali. Tekad dan kegigihan nya membuatnya memutuskan untuk juga pergi berperang. Entah sebagai apa, namun mengambil bagian dari perjuangan sebuah Negara dalam meraih kemerdekaan adalah sesuatu yang tidak akan dibiarkannya, hanya karena dia seorang perempuan.

Kesamaan 3 tokoh wanita Batak ini adalah keinginan untuk maju, berkembang, dan memberi kontribusi serta mengaktualisasikan diri dalam hidup sebagai bagian dari Bangsa Indonesia baik dulu maupun di era kemerdekaan ini. Di era dimana wanita seharusnya sejajar dan setara di tempatkan dengan kaum pria. Wanita tidak hanya bisa menjadi Ibu dan istri. Namun wanita juga bisa menjadi berbagai karakter positif yang memajukan dan mempertahankan bangsa ini. Tidak hanya Kartini dan Fatmawati. Siapapun wanita Indonesia, bisa berkarya dan sepatutnyalah mendapat kesempatan untuk itu.

Butet yang kita tau adalah sebutan untuk gadis kecil, dalam bahasa Batak. Kadang memberi pandangan bahwa demikianlah kaum wanita, sebuah sosok atau pribadi kecil dan lemah. Bukan hanya tak berdaya, namun sering kali tak beguna.

Memang sekarang jaman sudah berubah. Di adat Batak, katanya wanita sudah mulai diakui. Hak waris sudah diberikan juga kepada anak perempuan. Bahkan wanita juga sudah tidak lagi dianggap di perjual belikan dengan system sinamot ketika dinikahkan. Atau wanita sudah mendapat kesempatan untuk menimba ilmu dan berkarir setinggi-tingginya. Mungkin itu hanya sebuah teori, dan belum terealisasi. Atau mungkin juga sudah terjadi, namun belum sepenuhnya menjadi kenyataan bagi banyak wanita yang masih berjuang untuk mendapatkan hak asasi nya.

Apakah benar para wanita di adat Batak, adalah Boru ni Raja? Atau itu hanya sebuah ucapan semata.

Butet hanyalah sebuah nama, yang berarti anak gadis kecil, namun bukan berarti pribadi dibelakangnya adalah kecil, lemah dan tak ada artinya. Untuk sebuah kemerdekaan yang harus dipertahankan, mereka rela berjuang dan mereka tidak ingin dianggap dikucilkan dan dianggap sebelah mata. Dan jika perlu, untuk sebuah pengakuan itu, lebih baik mereka berkata: Jangan panggil aku, Butet!



Editor: Edward Luhukay


Sumber:
http://www.gatra.com/budaya-1/seni/72007-jangan-panggil-aku-butet-pentas-pada-25-oktober.html

0 comments:

Post a Comment